Rabu, 14 Februari 2018

Indonesia Berkomitmen Terapkan Teknologi Ramah Lingkungan untuk Pembangkit Listrik

Pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan mendorong munculnya Program 35.000 MW. Program ini diharapkan dapat meningkatkan rasio elektrifikasi serta menyokong ketahanan energi di Indonesia. Di samping itu, program yang digagas oleh Presiden Joko Widodo ini juga mendukung pertumbuhan ekonomi dengan membuka lapangan kerja serta menggerakkan industri dan komunitas setempat. Sebagian besar program ini masih mengandalkan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara. Pemerintah Indonesia menyadari dampak yang dapat ditimbulkan olehnya terkait peningkatan karbon emisi dan perubahan iklim. Oleh karena itu, pemerintah berkomitmen untuk menerapkan pengembangan teknologi yang ramah lingkungan pada pembangkit listrik.


"Hingga 2025, pembangkit listrik berbahan bakar batu bara masih mendominasi bauran energi Indonesia, yakni sekitar 50%. Akan tetapi, pertimbangan lingkungan akan tetap menjadi komitmen pemerintah dengan menerapkan teknologi ramah lingkungan," ujar Direktur Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan Munir Ahmad saat membuka Clean Coal Technology (CCT) Seminar di Hotel Pullman Jakarta, Kamis (18/1). Seminar ini diselenggarakan oleh Japan Coal Energy Center (JCOAL) dan didukung oleh Ditjen Ketenagalistrikan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Munir menyampaikan bahwa ketersediaan batu bara yang cukup melimpah dan nilainya yang ekonomis dibutuhkan bagi pengembangan kelistrikan di Indonesia. Negara-negara di ASEAN juga memiliki pandangan yang sama bahwa batu bara masih penting bagi perkembangan dan pertumbuhan sektor ketenagalistrikan. Dengan demikian, Munir melanjutkan, ASEAN mendukung pemanfaatan batu bara pada pembangkit listrik sebagai sumber energi primer yang terjangkau, cukup dalam jumlah, dan mudah untuk ditransportasikan.

"Pemerintah Indonesia mendukung pemahaman yang lebih baik atas batu bara serta pendekatan yang lebih bersih untuk meningkatkan citra batu bara melalui promosi teknologi batu bara bersih (CCT)," ungkap Munir.

Senada dengan Munir, Senior Executive Director JCOAL Masamichi Hashiguchi juga mendukung teknologi yang lebih bersih dalam pemanfaatan batu bara sebagai sumber energi. Menurutnya, daripada menghindari pemanfaatan batu bara, lebih baik memikirkan cara agar teknologi yang dipakai dapat membantu mengurangi emisi karbon.

Terkait pengurangan emisi karbon, Kepala Subdirektorat Perlindungan Ketenagalistrikan Benhur P.L. Tobing dalam paparannya menyebutkan bahwa di masa mendatang, pengembangan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara di Jawa akan menggunakan teknologi High Efficiency Low Emission (HELE) atau CCT seperti super critical (SC) boiler dan ultra super critical (USC) boiler.


"Ada delapan lokasi pembangkit listrik berbahan bakar batu bara di Jawa yang akan dikembangkan menggunakan USC boiler dengan total kapasitas 10,900 MW dan enam lokasi di Jawa dan Sumatera yang akan dikembangkan dengan SC boiler dengan total kapasitas 5,499 MW," Benhur menjelaskan. Saat ini, kata Benhur, ada empat pembangkit di Indonesia yang menggunakan SC boiler, yakni PLTU Paiton 3, PLTU Cirebon, PLTU Adipala, dan PLTU Banten (PT LBE).

Dalam seminar ini diperkenalkan teknologi baru yang lebih bersih dan ramah lingkungan untuk pembangkit listrik. Selain itu, ada pula pameran dari pihak pemerintah dan swasta yang melengkapi jalannya seminar CCT ini. Ditjen Ketenagalistrikan turut andil dalam pameran dengan memperkenalkan kebijakan dan regulasi terbaru bidang ketenagalistrikan. (AMH)

Tidak ada komentar :

Posting Komentar